Myhidayah’s Weblog

Jangan berhenti tuk pintar selagi kesempatan itu masih ada

Klasifikasi Hadis Juli 28, 2008

Filed under: materi — hieda @ 2:26 pm
Tags:

KLASIFIKASI HADIS

A. Hadis Ditinjau Dari Sifatnya

Hadis jika ditinjau dari segi sifatnya ada dua yakni hadis Qudsi dan hadis Nabawi. Hadis Qudsi adalah apa yang dikatakan Nabi Muhammad yang isinya dan maknanya dari Allah dan begitu pula lafadnya (menurut pendapat yang masyhur), karena hadis Qudsi merupakan kalam Allah, hanya saja hadis Qudsi tidak mempunyai keistimewaan seperti yang ada pada Al-Qur’an.

Hadis Qudsi tidak mukjiz (mengungguli atau melemahkan), membacanya tidak mengandung arti ibadah, boleh meriwayatkan hanya dengan ma’nanya saja seperti hadis biasa, dan yang tidak bersuci pun boleh membawa dan membaca hadis Qudsi tersebut.[1]

Sedangkan hadis Nabawi adalah perkataan (Sabdanya) Rosul SAW. Makna atau isinya dari Allah SWT, sedangkan lafadnya dari Nabi, sekadar lafadnya tidak menjadi mu’jizat dan oleh karena itu boleh hanya meriwayatkan ma’nanya.

1) Persamaan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi

Baik hadis Nabawi maupun hadis Qudsi pada dasarnya keduanya bersumber dari wahyu Allah. Selain itu redaksi keduanya disusun oleh Nabi. Jadi, yang tertulis itu semata-mata dari ungkapan atau kata-kata Nabi sendiri.

2) Perbedaan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi

Hadis Qudsi biasanya diberi ciri-ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat seperti qala (yaqulu) Allahu, fima yarwihi ‘anillahi Tabaraka wa Ta’ala dan lafad-lafad lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas, dan letaknya setelah penyebutan rowi yang menjadi sumber (pertama) nya yakni sahabat, sedang untuk hadis Nabawi, tidak ada tanda-tanda seperti itu.[2]

Perbedaan hadis Qudsi dan hadis Nabawi juga dapat dilihat dari sudut sandarannya, nisbatnya dan jumlah kuantitasnya. Dari sudut sandarannya, hadis Nabawi disandarkan kepada Nabi sedangkan hadis Qudsi disandarkan kepada Nabi dan Allah SWT.

Misal hadis

Dari sudut nisbahnya, hadis Nabawi dinisbahkan kepada Nabi, baik redaksi maupun maknanya, sedangkan hadis Qudsi maknanya dinisbahkan kepada Allah SWT dan redaksinya kepada Nabi. Dan dari sudut kuantitasnya, jumlah hadis Qudsi jauh lebih sedikit dari pada hadis Nabawi.[3]

B. Bentuk-Bentuk Hadis

1) Hadis Qouli

Hadis Qouli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan ataupun ucapan yang memuat maksud-maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan dengan aqidah, syari’ah, akhlak atau yang lainnya. Contohnya ialah hadis tentang do’a Rosulullah yang ditujukan kepada orang-orang yang mendengar, menghafal dan menyampaikan ilmu.

2) Hadis Fi’li

Hadis Fi’li adalah hadis yang menyebutkan perbuatan nabi Muhammad yang sampai pada kita. Perbuatan Rosul tersebut adalah yang sifatnya dapat dijadikan contoh teladan, dalil untuk penetapan hukum syara’ atau pelaksanaan suatu ibadah. Seperti tata cara pelaksanaan ibadah shalat, haji dan lain-lain.

3) Hadis Taqriry

Hadis Taqriry adalah hadis yang menyebutkan ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Nabi membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat apabila memenuhi beberapa syarat baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya. Perkataan atau perbuatan sahabat yang diakui atau disetujui oleh Rosul, hukumnya sama dengan perkataan atau perbuatan Rosul sendiri. Demikian juga taqrir terhadap ijtihad sahabat dinyatakan sebagai hadis atau sunnah.[4]

4) Hadis Hammi

Hadis yang menyebutkan keinginan Nabi Muhammad yang belum terealisasikan seperti halnya keinginan untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘Asyura. Tetapi nabi belum sempat merealisasikan keinginannya karena beliau wafat sebelum bulan ‘Asyura. Menurut imam Syafi’i dan para pengikutnya bahwa menjalankan hadis hammi ini disunnahkan.[5]

5) Hadis Ahwali/ Sifati

Adalah hadis yang menyebutkan hal ihwal Nabi Muhammad yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat (lahiri batini) dan kepribadiannya. Misal hadis tentang keadaan fisik nabi Muhammad yang dalam beberapa hadis disebutkan bahwa beliau tidak terlalu tinggi dan tidak pendek. Mengenai sifat Rosul, ada hadis yang diriwayatkan oleh Umar yang mengatakan bahwa nabi itu berakhlak baik.[6]

C. Hadis Ditinjau Dari Jumlah Perawi

Ditinjau dari segi jumlah perawinya, hadis terbagi menjadi dua yakni Hadis Mutawatir Dan Hadis Ahad.

a. Hadis Mutawatir

Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang, berdasarkan panca indera, yang menurut adat, mustahil mereka terlebih dahulu untuk sepakat berdusta. Keadaan periwayatan itu terus menerus demikian, sejak thabaqoh yang pertama sampai thabaqoh yang terakhir.

Ada beberapa syarat-syarat hadis disebut sebagai hadis mutawatir, yakni :[7]

ó Hadis itu diperoleh dari Nabi atas dasar panca indera yang yaqin. Maksudnya, bahwa perawi dalam memperoleh hadis Nabi, haruslah benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.

ó Bilangan perawinya, dilihat dari segi banyaknya, telah mencapai jumlah yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Apabila suatu berita telah menfaidahkan yakin tetapi kalau periwayatnya tidak banyak maka tidak dapat dikategorikan sebagai hadis mutawatir. Adapun mengenai jumlah bilangan perawi yang harus berjumlah banyak itu, ulama’ berbeda pendapat :

Abu Thayyib menetapkan, minimal 4 orang. Alasannya dengan mengqiyaskan terhadap ketentuan bilangan saksi yang diperlukan dalam suatu perkara.

Sebagian golongan Syafi’i menetapkan, minimal 5 orang. Alasannya dengan mengqiyaskan terhadap jumlah 5 orang nabi yang bergelar ulul azmi.

Sebagian ulama ada yang menetapkan 20 orang. Alasannya dengan mengqiyaskan bilangan 20 tersebut dengan ayat Al- Qur’an surat Al-Anfal 65.

Sebagian ulama ada yangmenetapkan minimal 40 orang, ada yang menyatakan minimal 10 orang, 12 orang, 70 orang dan lain-lain.

Sebenarnya mengenai jumlah bilangan rowi tersebut yang terpenting adalah dari segi peninjauan adat, bahwa dengan jumlah tersebut sudah meyaqinkan, dan mustahil terjadi kesepakatan terlebih dahulu untuk berdusta.

ó Ada keseimbangan jumlah perawi antara thabaqah masing-masing. Apabila jumlah perawi pada thabaqoh pertama sekitar 10 orang, maka thabaqoh-thabaqoh lainnya juga harus sekitar 10 orang.

Macam-macam hadis mutawatir, ada 3 macam yakni:

§ Hadis Mutawatir Lafdzy

Yakni, hadis mutawatir yang diriwayatkan dengan lafadz dan ma’na yang sama, serta kandungan hokum yang sama pula.

§ Hadis Mutawatir Ma’nawi

Ya’ni hadis mutawatir yang berasal dari berbagai hadis yang diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi apabila dikimpulkan memmpunyai ma’na umum yang sama. Misalnya hadis tentaqng mengangkat tangan waktu berdo’a diluar shalat. Ada sekitar 100 hadis yang bila dikumpulkan dapat disimpulkan bahwa nabi bila berdo’a diluar sholat, beliau selalu mengangkat tangan.

§ Hadis Mutawatir Amali

Yakni amalan agama atau ibadah yang dikerjakan oleh rosulullah kemudian diikuti oleh para sahabat lalu diikuti oleh para tabi’in dan seterusnya. Seperti hadis Nabi tentang adanya sholat jenazah, sholat I’d dan lain-lain.[8]

Kebanyakan ulama’ berpendapat, bahwa keyakinan yang diperoleh dari Hadis Mutawatir, sama kedudukannya dengan keyakinan yang diperoleh dengan mata atau penyaksian sendiri. Karenanya hadis mutawatir memfaidahkan ilmu dlarury hingga membawa kepada keyakinan yang qoth’I. Oleh karena itu petunjuk dari hadis mutawatir wajib diamalkan, sebagaimana wajibnya mengamalkan petunjuk al-Quran.

b. Hadis Ahad

Hadis Ahad menurut istilah berarti hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat padanya untuk dimasukkan sebagai mutawatir. Dengan kata lain hadis ahad adalah hadis yang jumlah perawinya tidak sampai kepada tingkat jumlah mutawatir.

Hadis ahad dibagi menjadi 3 bagian ya’ni :

§ Hadis masyhur

Menurut bahasa hadis masyhur adalah hadis yang sudah popular dan sudah tersebar. Menurut sebagian ulama’, hadis masyhur adalah hadis yang pada thabaqah perawi pertama dan kedua, terdiri dari seorang kemudian pada thobaqoh berikutnya barulah tersebar luas, yang disampaikan oleh orang banyak yang mustahil mereka sepakat terlebih dahulu untuk berdusta.

Ada perbedaan para ulama dalam menilai kualitas hadis masyhur. Ulama ushul menempatkan hadis masyhur berada antara hadis mutawatir dan hadis ahad. bahkan ada kecenderungan menempatkan hadis masyhur lebih dekat pada hadis mutawatir. Sedangkan sebagian ulama yang lain menempatkan hadis masyhur sebagai bagian dari hadis ahad.[9]

Apabila dilihat dari segi dikalangan mana hadis tersebut menjadi masyhur atau popular, maka hadis masyhur dapat dibedakan menjadi

Hadis yang masyhur dikalangan ulama’ hadis saja.

Hadis yang masyhur dikalangan ulama’ hadis dan ulama’ lainnya.

Hadis yang masyhur dikalangan ulama’ yang bukan ulama’ hadis.

Hadis yang masyhur dikalangan masyarakat awam.

§ Hadis Aziz

Menurut sebagian ulama, Hadis Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang. Maksudnya, sanad hadis tersebut pada thabaqoh pertama sampai thobaqoh yang terakhir, masing-masing terdiri dari dua orang. Sebagian ulama’ lainnya berpendapat, hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang pada sebagian thabaqahnya dan pada thabaqah lainnya ada yang lebih dari dua orang.[10]

§ Hadis Ghorib

Menurut ibnu hajar, Hadis Gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perowi dengan tidak dipersoalkan apakah rowi yang seorang itu ada di thabaqah pertama atau dithabaqah lainnya.

Ditinjau dari segi penyendirian rowi, Hadis Gharib dibagi menjadi 2 bagian ya’ni gharib mutlak dan gharib nisbi.[11]

Gharib Mutlak, apabila keghariban perawi yang seorang itu terjadi pada ashal sanad atau pada tabi’it tabi’in atau dapat juga pada seluruh rawinya disetiap tabaqah. Jadi, kegariban disini dilihat dari segi kesendirian rowi dari setiap sanad. Ketentuan ini tidak berlaku pada kesendiriannya sahabat.

Garib Nisbi, apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rowi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu pada seorang rawi mempunyai beberapa kemungkinan yaitu,(1) yang berkenaan dengan sifat keadilan dan kedlobitan rawi,(2) yang berkenaan dengan tempat tinggal rawi, (3) yang berkenaan dengan periwayatan dari perowi tertentu.

D. Hadis Ditinjau dari Kualitas Sanad dan Matannya

Ditinjau dari kualitas sanad dan matannya, ada tiga macam :

1) Hadis Shahih

Menurut istilah Hadis Shahih ialah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobith, serta tidak terdapat didalamnya suatu kejanggalan dan cacat.

Syarat-syarat Hadis Shahih ada 5 macam, ya’ni:[12]

Sanad hadis harus bersambung (Ittisholus Sanad)

Maksudnya sanad hadis itu sejak dari mukharrijnya sampai kepada nabi tidak ada yang terputus.

Para perawi yang meriwayatkan hadis itu, haruslah orang yang bersifat adil. Arti adil disini ialah memiliki sifat-sifat :(a) istiqomah dalam agama islam,(b) baik akhlaknya,(c) tidak fasik, antara lain tidak banyak melakukian dosa-dosa kecil apalagi dosa besar,(d) memelihara muru’ahnya (memelihara kehormatan dirinya).

Para perawi yang meriwayatkan hadis itu, haruslah bersifat dlobit. Arti dlobit disini adalah memiliki ingatan dan hafalanyang sempurna. Memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya serta mampu menyampaikan harfalan itu kapan saja dikehendaki.

Tidak ada kejanggalan–kejanggalan (syudzudz). Maksudnya adalahapa yang sebenarnya berlawanan dengan perikeadaan ang terkandung dalam sifat sikap tsiqoh, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah ang telah berlaku secara umum, atau bertentangan dengan hadis ang lebih kuat.

Tidak ada sama sekali cacatnya.

Hadis shohih ada dua macam yakni :

 Hadis shohih li-dzatihi, ya’ni hadis yang karena keadaan dirinya sendiri telah memenuhi sepenuhnya 5 syarat hadis shahih.

 Hadis shahih li ghoirihi, ya’ni hadis yang pada dirinya sendiri belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya berkualitas hasan lidzatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya, maka hadis tersebut meningkat menjadi hadis shahih lighoirihi.

2) Hadis Hasan

Hadis Hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit dlobith, tidak terdapat didalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat cacat.

Melihat pengertian ini, maka sesungguhnya hadis hasan itu tidak ada perbedaannya dengan hadis shahih, terkecuali hanya dihafalannya. Untuk hadis hasan, hafalan rowi ada yang kurang sedikit bila dibandingkan dengan hadis yang shohih. Adapun untuk syarat-syarat lainnya antara hadis hasan dan shahih sama.

Hadis hasan dibagi menjadi 2 bagian ;

 Hadis hasan li-dzatihi, yakni hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria hadis hasan, jadi kehasanannya bukan karena adanya petunjuk atau penguat lain, tetapi karena sebab dirinya sendiri.

 Hadis hasan li ghairihi, yakni hadis yang sanadnya ada rowi yang tidak diakui keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu banyak kesalahan dalam meriwayatkan hadis, kemudian ada riwayat dengan sanad yang lain yang bersesuaian dengan maknanya.

Hadis hasan li ghairihi itu pada asalnya adalah hadis dha’if. Kemudian ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hasan.

3) Hadis Dha’if

Hadis Dha’if adalah hadis yang tidak memiliki salah satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadis shahih dan hadis hasan.

Hadis dho’if dapat dilihat dari dua segi, yakni :

 Hadis dha’if dilihat dari segi adanya keguguran sanad

suatu hadis yang sanadnya terputus, sudah jelas termasuk hadis dha’if. Sebab, salah satu syarat bagi hadis shahih dan hadis hasan adalah sanadnya yang bersambung. Terputusnya atau gugurnya suatu sanad, mungkin berada di awal sanad, mungkin di pertengahan, mungkin di akhirnya dan mungkin seluruhnya.

Macam-macam hadis yang terputus sanadnya adalah hadis Mu’allaq, hadis Munqathi’, hadis Mu’dlal, hadis Mudallas, dan hadis Mursal.

 Hadis dha’if dilihat dari selain gugurnya sanad

adalah hadis dha’if yang terdapat cacat pada diri salah seorang perawi atau matannya. Yang dimaksud dengan cacat pada perawi adalah bahwa terdapat kekurangan atau cacat pada diri perawi tersebut, baik dari segi keadilannya, agamanya, atau dari segi ingatan, hafalan dan ketelitiannya.

Cacat yang berhubungan dengan keadilan seorang perawi adalah (a) pembohong/pendusta, (b) dituduh berbohong, (c) fasik, (d) berbuat bid’ah, (e) tidak diketahui keadaannya.

Cacat yang berhubungan dengan ingatan dan hafalan perawi adalah (a) sangat keliru/sangat dalam kesalahannya, (b) buruk hafalannya, (c) lalai, (d) banyak prasangka, (e) menyalahi perawi yang tsiqat.[13]

Beberapa hadis dha’if yang masuk kedalam kategori ini adalah hadis Mudha’af, hadis Mudltharib, hadis Maqlub, hadis Syadz, hadis Mungkar dan hadis Matruk. Sedangkan hadis dha’if yang paling buruk keadaannya adalah hadis Maudhu’, yang penyebab cacat perawinya dikarenakan dusta atau pembohong.

E. Nilai Kehujjahan Hadis

Status dan kualitas suatu hadis, tergantung sanad dan matan hadis tersebut. Apabila sanad suatu hadis telah memenuhi syarat dan criteria tertentu demikian juga matannya, maka hadis tersebut dapat diterima sebagai dalil untuk melakukan sesuatu atau menetapkan hokum atas sesuatu. Akan tetapi apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi, maka hadis tersebut ditolak dan tidak dapat dijadikan hujjah.

Hadis yang dapat diterima sebagai hujjah disebut Hadis Maqbul. Diantara syarat qobul suatu hadis adalah berhubungan erat dengan sanad hadis tersebut, yakni: (1) sanadnya bersambung, (2) bersifat adil, (3) dlobith. Dan syarat yang berhubungan dengan matan hadis adalah,(4) hadisnya tidak syadz, dan (5) tidak terdapat padanya I’lat.[14]

Jumhur ulama’ berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang termasuk dalam kategori hadis maqbul adalah shohih li-dzatih dan li ghoirih, hasan li li-dzatih dan li ghoirih, dan hadis mutawatir.

Hadis maqbul itu belum tentu wajib diamalkan, oleh karena itu dari segi dapat atau tidaknya hadis maqbul itu diamalkan ada yang ma’mulun bihi dan ada yang ghoiru ma’mulun bihi (tidak diamalkan). Dan ini disebabkan karena kadang-kadang hadis itu walaupun sama shohihnya ada ang berlawanan dan banyak pula yang tidak mempunyai perlawanan.[15]

Sedangkan hadis yang tidak dapat digunakan sebagai hujjah disebut sebagai Hadis Mardud. Yang termasuk dengan hadis mardud adalah hadis dlo’if. Ada 2 pendapat tentang boleh atau tidaknya hadis dlo’if dijadikan hujjah, yakni:

1) Imam Bukhori, Muslim, Ibnu Hazm Dan Abu Bakar Ibnu Aroby menyatakan, hadis dlo’if sama sekali tidak boleh diamalkan, atau dijadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun keutamaan amal.

2) Imam Ahmad Bin Hambal, Abdurrahman Bin Mahdi Dan Ibnu Hajar Al Asqolany menyatakan, bahwa hadis dlo’if dapat dijadikan hujjah hanya untuk dasar keutamaan amal dengan syarat :(a) para rowi yang meriwayatkan hadis itu, tidak terlalu lemah, (b) masalah yang dikemukakan oleh hadis itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh al-quran dan hadis sohih, (c) tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.[16]

Para ulama’ hadis sepakat tidak membolehkan hadis dlo’if sebagai hujjah baik soal keutamaan amal maupun makarimul akhlak.

Referensi :

Al Basyuni, Syekh Ahmad, 1994, Syarah Hadis : Qabasaat Min As Sunnah An Nabawiyah-Cuplikan Dari Sunnah Nabi Muhammad, Bandung : Penerbit Trigenda Karya.

Anwar, Moh., Ilmu Mustholahah Hadis, Surabaya : Al-Ikhlas.

Ismail, Syuhudi M, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung : Penerbit Angkasa

Mudassir, 1999, Ilmu Hadis, Bandung : CV Pustaka Setia.

Rahman, Fatchur,1974, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung : Penerbit Al Ma’arif.

Ranuwijaya, Utang, 1996, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama.

Yuslem, Nawir, 2001, Ulumul Hadis, PT Mutiara Sumber Widya.


[1] Syekh Ahmad Al Basyuni, Syarah Hadis Qabasaat Min As Sunnah An Nabawiyah-Cuplikan Dari Sunnah Nabi Muhammad, Penerbit Trigenda Karya, Bandung, 1994. hal 26

[2] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Penerbit Al Ma’arif, Bandung, 1974. hal 69

[3] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996. hal 40.

[4] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, PT Mutiara Sumber Widya, 2001. hal 50.

[5] H. Mudassir, Ilmu Hadis, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999. hal 36

[6] Ibid. hal 37.

[7] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Penerbit Angkasa, Bandung. Hal 135.

[8] Ibid. Hal. 138.

[9] Ibid. Hal. 142

[10] Ibid. Hal. 150.

[11] Fatchur Rahman,Ikhtisar Mustalakhul Hadis, PT Al Ma’arif, Bandung, 1974. Hal. 98.

[12] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Penerbit Angkasa, Bandung. Hal. 179

[13] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, PT Mutiara Sumber Widya, 2001. Hal 256

[14] Ibid. hal. 160

[15] Moh. Anwar, Ilmu Mustholahah Hadis, Al-Ikhlas, Surabaya. Hal. 70

[16] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Penerbit Angkasa, Bandung. Hal. 187

 

8 Responses to “Klasifikasi Hadis”

  1. dahlan Says:

    alangkah baiknya kalo setiap penulisan hadis atau ayat al-quran disertai arabnya bukan terjemahnya saja,

    • m. subhan Says:

      tenang aja….kalau anda menginginkannya,kn di indonesia masih sangat banyak pesantren…
      -pp.el-bayan majenang cilacap indonesia

  2. hieda Says:

    aslinya makalah ini ada hadisnya, lengkap malah…tapi sayangnya ketika saya posting tulisannya jadi berubah. yah jadilah makalah hadis tak ada hadisnya. mungkin juga lebih baik begini. jadi kalau memang ada yang tertarik dengan makalah ini tidak hanya sekedar copy paste aja..tapi juga berusaha untuk mencari hadisnya.

  3. Zaza Says:

    K0q q kran9 sreg y. Da ktran9n lah detail l9i 9?

  4. dino Says:

    Mas/Mbak…..

    Dari sekian banyak rujukan buku tersebut, buku mana yang susunannya paling bagus ( mendekati gaya penulisan yang anda upload tsb) ? Soal nya saya juga mau beli buku sejenis tapi bingung mau pilih dari penerbit mana…..

    Tks

  5. rekha asa diah gumanti Says:

    apa cih kak!…
    pengertian dari hadis hammi……!!???

  6. xsaxxxsx Says:

    Alangkah baiknya jika ada pengertiannya di barengi dengan tulisan Arab.

  7. saya salut dengan yang anda tuliskan saat ini.


Tinggalkan komentar